Dimsum bukan sekadar makanan. Ia adalah kisah, budaya, dan pengalaman yang dirangkum dalam satu gigitan kecil. Asal usul dimsum dapat ditelusuri kembali ke masa Dinasti Tang, ketika masyarakat Tiongkok mulai menjadikan teh sebagai budaya. Makanan ringan pun disajikan untuk menemani ritual minum teh ini, dan lahirlah dimsum sebagai bagian dari budaya “yum cha” — minum teh sambil makan ringan.
Dalam bahasa Mandarin, dimsum berarti “menyentuh hati”. Filosofi ini tidak hanya tentang rasa, tetapi tentang perhatian yang diberikan dalam menyajikan makanan kecil yang dibuat dengan cinta dan detail. Dimsum dibuat dalam ukuran kecil, bukan tanpa alasan — agar bisa dinikmati dalam banyak variasi, dan lebih fokus pada kualitas per porsi.
Awalnya, dimsum hanya dinikmati oleh kalangan bangsawan dan saudagar kaya. Mereka menjadikan dimsum sebagai bentuk status sosial dan kenikmatan hidup. Tapi seiring waktu, dimsum menjadi lebih inklusif dan hadir di kedai-kedai kecil, disajikan oleh generasi keluarga secara turun-temurun.
Setiap jenis dimsum punya cerita. Siomay yang kita kenal berasal dari “shāomài”, biasanya berisi daging babi cincang, lalu diadaptasi menjadi versi halal di banyak negara, termasuk Indonesia. Hakau atau dumpling udang, terkenal karena teknik pelipatan kulit tipis yang hampir transparan — simbol keahlian si pembuat. Sementara bakpao menggambarkan nilai-nilai kelembutan, kehangatan, dan kenikmatan dalam kesederhanaan.
Selain bahan dan teknik memasak, dimsum juga mencerminkan keharmonisan. Makanan ini biasanya disajikan dalam keranjang kukusan bambu, menandakan kesederhanaan dan kehangatan. Kukusan ini menjaga suhu dan aroma makanan, menciptakan pengalaman multisensori yang khas. Bahkan, bentuk bundar dari banyak jenis dimsum dianggap sebagai simbol kebulatan hati dan keharmonisan keluarga.
Menariknya, budaya dimsum juga berkembang sesuai zaman. Di Hong Kong, dimsum jadi ikon kuliner lokal. Di sana, makan dimsum bukan cuma aktivitas kuliner, tapi ritual sosial — tempat generasi tua dan muda saling bertemu, bercakap, dan mempererat hubungan. Sementara di Barat, dimsum berkembang dengan pendekatan fusion, memadukan cita rasa Asia dan Eropa — seperti truffle siomay, lobster dumpling, hingga vegan dimsum berbahan jamur atau tahu.
Di Indonesia, dimsum sempat dikenal terbatas hanya di restoran Tionghoa. Namun dalam beberapa dekade terakhir, popularitasnya melonjak. Dimsum hadir di warung kaki lima, hotel bintang lima, hingga menjadi bisnis frozen food rumahan. Inovasi dalam bentuk penyajian dan rasa pun berkembang, seperti dimsum sambal matah, dimsum keju, bahkan dimsum isi ayam geprek!
Dimsum adalah bukti bahwa makanan bisa menjadi bahasa universal. Lewat bentuk kecil dan rasa lembutnya, ia menyampaikan nilai: tentang berbagi, tentang kesederhanaan, tentang kenikmatan yang tidak berlebihan. Ia mengajarkan kita bahwa untuk menyentuh hati orang lain, kadang cukup dengan satu gigitan kecil yang tulus.
Jadi, lain kali saat kamu menikmati dimsum, ingatlah bahwa yang kamu makan bukan sekadar camilan. Kamu sedang mencicipi warisan sejarah, filosofi hidup, dan kehangatan budaya yang telah bertahan ribuan tahun.